Kritik Lewat “Wall of Fame”

Wall of Fame yang berisi kritik, saran, dan dukungan seputar Djarum Indonesia Open Super Series 2010 terpampang di Istora Senayan Jakarta, Sabut (26/6/2010).

JAKARTA, KOMPAS.com — Sederetan kalimat singkat yang menarik perhatian seperti “Anak Desa Pingin Tau Cara Jadi Juara,” atau “Go Taufik Ganyang Lee Chong Wei” dan puluhan kalimat lainnya tampak menghiasi dua buah papan besar yang dinamai “Wall of Fame”.

Ya, kalimat-kalimat tersebut merupakan bentuk dukungan dari para penonton yang hadir menyaksikan perhelatan akbar pertandingan bulu tangkis Djarum Indonesia Open Super Series (DIOSS) 2010.

Memasuki tahun ke-10 pelaksanaannya, DIOSS hadir dengan membawa berbagai ide segar guna semakin memasyarakatkan bulu tangkis kepada seluruh penonton Indonesia. Salah satunya adalah “Wall of Fame”. Ini merupakan inovasi baru yang menjadi bagian dari konsep besar acara secara keseluhuran, yakni “City of Badminton”.

Wall of Fame merupakan sebuah fasilitas yang disediakan pihak panitia DIOSS 2010 bagi para penonton yang hadir di Istora, Senayan. Mereka bisa menuliskan apa saja yang ingin mereka sampaikan, misalnya dukungan atau semangat bagi para atlet yang akan bertanding.

Wall of Fame ini terdiri dari dua papan kayu masing-masing berukuran 20 x 2,44 m yang dipajang di depan pintu masuk Istora. Di sekitar papan-papan ini juga disediakan masing-masing 10 spidol besar dengan aneka warna.

Ukuran raksasa Wall of Fame dan penempatannya di depan pintu masuk Istora ternyata cukup efektif menyedot perhatian pengunjung untuk ikut menulis, seperti halnya Awek. Pemuda asal kota Lampung ini sengaja meluangkan waktu datang ke Jakarta bersama sahabat-sahabatnya untuk menonton DIOSS 2010. Dengan semangat ia segera menghampiri Wall of Fame dan menulis kalimat, “Cah Lampung Dukung Reinkarnasi Indonesia.”

Menurut Awek, ia menulis kalimat tersebut sebagai penyemangat bagi bulu tangkis Indonesia yang ia nilai saat ini sedang “mati suri.” “Saya kan enggak mungkin ngomong langsung sama PBSI. Siapa pengurusnya saja saya enggak tahu. Yang penting saya menunjukkan kepedulian saya lewat nulis di papan ini. Semoga aja bisa dibaca orang PBSI yang lewat,” tutur Awek.

Lain lagi dengan Yulia dan Dewi. Mahasiswa Universitas Nasional Jakarta ini memilih menghabiskan hari Minggunya untuk menyaksikan sang idola, Taufik Hidayat, beraksi. Mereka masing-masing menuliskan dukungan bagi peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 ini. Yuli menulis, “Ka opik… kita semua akan selalu mendukungmu, ka !!!!! semangat ya, ka!,” tulisnya.

Sementara itu, Dewi menuliskan kalimat yang lebih ekstrem lagi, “Taufik Hidayat, I luv U!.” “Kita ingin mendukung Taufik, walaupun enggak bisa disampaikan langsung sama Taufik tapi kita sudah senang kok menulis di Wall of Fame ini,” aku Dewi.

Wall of Fame ternyata tidak hanya menarik penonton lokal. Suporter dan keluarga para pemain asing pun antusias menuliskan bentuk dukungan mereka. Walau demikian, beberapa di antaranya menggunakan bahasa yang sulit untuk dimengerti penonton Indonesia.

Seperti halnya Sella, gadis cilik berusia 8 tahun, sibuk merengek minta diizinkan ikut menulis di dinding Wall of Fame. Sella datang dari Malaysia bersama ayah, ibu, dan seorang kakak laki-laki. Ketika diizinkan sang ibu, Sella lantas menghampiri Wall of Fame dan menuliskan kalimat singkat, “GO Lee Chong Wei!”

Menurut sang ibu, Aisyah, Sella memang sangat mengidolakan pemain nomor satu dunia ini. Berhubung akhir pekan, ia mengizinkan anaknya mengisi liburan dengan menyaksikan sang jagoan berlaga pada partai final. “Ya, kami sekeluarga suka badminton. Apalagi Sella, dia adalah salah satu penggemar berat Chong Wei. Tapi kami tidak suka main badminton, hanya menonton saja,” papar Aisyah.

Sambutan positif ternyata tidak hanya datang dari kalangan suporter. Atlet yang berlaga pun ikut senang dengan adanya Wall of Fame dalam penyelenggaraan DIOSS 2010. “Wall of Fame Bagus. Saya belum sempat nulis tapi sudah lihat dan sangat keren pastinya,” ujar pemain ganda campuran Indonesia, Fran Kurniawan.

Sementara itu, menurut ketua pelaksana “City of Badminton”, Ardan, awal tercetusnya ide menghadirkan Wall of Fame merupakan hasil rembukan seluruh tim panitia penyelenggara. “Seperti konsep awal ‘City of Badminton’ kami ingin mengajak seluruh masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk artis sekalipun, untuk mendukung para atlet yang sedang bertanding,” kata Ardan.

“Wall of Fame ini merupakan sarana bagi para penonton untuk menyampaikan dukungannya. Awalnya kami sempat ragu karena takut para penonton menulis hal yang macam-macam dan justru tidak berhubungan dengan DIOSS 2010. Tapi, melihat tanggapannya antusias seperti ini, kami senang,” lanjutnya.

Mengomentari banyaknya kritik pedas yang disampaikan masyarakat lewat Wall of Fame terkait prestasi Indonesia yang menurun, Ardan mengaku tidak masalah. “Soal kritik, kami tidak masalah. Wall of Fame memang merupakan sarana bagi para penonton untuk menyampaikan aspirasinya. Kami justru senang mendapatkan banyak dukungan dan masukan dari masyarakat,” sebutnya.

Menurut Ardan, rencananya selepas kejuaraan DIOSS, Wall of Fame ini akan dipindahkan ke kantor PBSI di Pelatnas Cipayung, Jakarta. Meski masih sebatas rencana, semoga hal ini memudahkan PBSI agar lebih terbuka terhadap masukan dan komentar dari masyarakat tentang bulu tangkis Indonesia. Paling tidak, ini sebagai selingan untuk dibaca saat waktu luang….

Leave a comment